Date post: | 08-Jul-2016 |
Category: |
Documents |
Upload: | taufik-ghockil-zlaluw |
View: | 260 times |
Download: | 3 times |
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted
helmithiasis) disebut juga penyakit infeksi kecacingan STH, masih merupakan
problema kesehatan masyarakat terutama di daerah tropis dan sub tropis termasuk
Indonesia. Penyakit yang termasuk dalam kelompok kurang mendapat perhatian
(neglected disease) ini memang tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba
tiba namun menyebabkan banyak korban, dan merupakan penyakit yang secara
perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan gangguan penyerapan gizi
dan dapat menyakibatkan penurunan tingkat intelegensia anak.
Infestasi cacing pada manusia banyak dipengaruhi faktor perilaku, lingkungan
tempat tinggal dan manipulasi terhadap lingkungan. Penyakit kecacingan banyak
ditemukan di daerah dengan kelembaban tinggi dan terutama mengenai kelompok
masyarakat dengan personal higiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Hal yang mempermudah penularan dari penderita ke orang lain yaitu
kebiasaan anak bermain di tanah, tidak membiasakan mencuci tangan sebelum
makan, dan selalu makan makanan yang tercemar oleh telur cacing melalui lalat.
WHO tahun 2006, mengatakan bahwa kejadian penyakit kecacingan di dunia
masih tinggi yaitu 1 miliar orang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 795 juta
orang terinfeksi cacing Trichuris trichiura dan 740 juta orang terinfeksi cacing
Hookworm.
Jumlah kasus infeksi STHs terbanyak dilaporkan dikawasan sub-sahara afrika,
benua amerika, cina, dan asia timur. Infeksi terjadi oleh karena ingesti telur cacing
dari tanah yang terkontaminasi atau dari penetrasi aktif melalui kulit larva di tanah.
Di negara kaya dan maju, banyak penyakit parasit yang dapat di berantas.
Sebaliknya pada negara miskin dan terbelakang memperlihatkan prevalensi parasit
yang lebih tinggi. Dengan demikian, penyakit parasit sangat erat hubungannya
dengan kemiskinan dan rendahnya pengetahuan masyarakat. Mekanisme penularan
berkaitan dengan higienis dan sanitasi lingkungan yang buruk, aspek sosial ekonomi,
tingkat pengetahuan seseorang.
Hasil survei kecacingan Sekolah Dasar di 27 Propinsi Indonesia menurut jenis
cacing tahun 2002–2006 didapatkan bahwa pada tahun 2002 prevalensi Ascaris
lumbricoides 22,0%, Trichuris trichiura 19,9% dan Hookworm 2,4%. Tahun 2003
prevalensi Ascaris lumbricoides 21,7%, Trichuris trichiura 21,0% dan Hookworm
0,6%. Tahun 2004 prevalensi Ascaris lumbricoides 16,1%, Trichuris trichiura 17,2%
dan Hookworm 5,1%. Tahun 2005 prevalensi Ascaris lumbricoides 12,5%, Trichuris
trichiura 20,2% dan Hookworm 1,6% dan pada tahun 2006 prevalensi Ascaris
lumbricoides 17,8%, Trichuris trichiura 24,2% dan Hookworm 1,0%. 8 Kerugian dan
dampak akibat infeksi kecacingan tidak menyebabkan manusia mati mendadak akan
tetapi dapat mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan dan metabolisme
makanan. Selain dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan, mental,
prestasi, dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lain.
Menurut Siregar (2006) respon tubuh terhadap infeksi cacing usus sangat
bervariasi, sehingga menimbulkan berbagai jenis gejala klinis. Bila akibat infeksi
yang terjadi berat, maka gangguan pertumbuhan akan terjadi sehingga dapat
menyebabkan penurunan tingkat kecerdasan. Namun bila akibat yang ditimbulkannya
ringan, tidak terjadi gangguan pertumbuhan.
berdasarkan uraian latar belakang yang telah dibuat sehingga perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam kejadian infeksi
kecacingan pada siswa SD.
2
B. Rumusan Masalah
Belum diketahuinya faktor-faktor yang berperan dalam kejadian infeksi kecacingan
pada siswa SD tahun 2013.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi cacing
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing pada murid SD…
b. Untuk mengetahui derajat infeksi cacing pada murid SD…
c. Untuk mengetahui higiein pada siswa SD…
d. Untuk mengetahui sanitasi lingkungan sekolah pada siswa SD…
e. Untuk mengetahui sanitasi lingkungan rumah siswa SD….
f. Untuk mengetahui tingkat pendidikan orang tua siswa SD
g. Untuk mengehui pekejaan orang tua anak SD…
h. Untuk mengetahui penghasilan orang tua anak SD
i. Untuk mengetahui hubungan derajat kecacingan dengan status gizi pada
anak SD….
j. Untuk mengetahui adanya pengaruh infeksi cacing terhadap pertumbuhan
pada anak SD….
k. Untuk mengetahui adanya pengaruh infeksi cacing terhadap tingkat
kecerdasan anak SD…
3
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi terhadap pihak sekolah agar dapat memberikan pengarahan
atau menyuluhan tentang pencegahan penyakit di…….
2. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap upaya penanggulan penyakit
kecacingan serta menjadi bahan evaluasi dalam program penanggulangan
penyakit kecacingan pemerintah khususnya di……
3. Sebagai informasi dan menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat khususnya
orang tua maupun siswa akan pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan
lingkungan sehingga dapat memperkecil angka kejadian infeksi Soil
Transmitted Helminths pada anak-anak.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan kajian bagi
peneliti berikutnya yang berminat untuk meneliti lebih dalam bidang ini.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Infeksi Kecacingan
A. Pendahuluan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) dengan memberi imbuhan ke
dan akhiran an terhadap suatu kata benda maka terhadap kata tersebut mengandung
arti menderita atau mengalami kejadian. Dengan demikian, kata kecacingan berarti
seseorang yang mengalami kecacingan. Sedangkan Menurut Dinkes Jawa Timur
(2003) Kecacingan ialah penyakit yang disebabkan karena masuknya parasit (berupa
cacing) ke dalam tubuh manusia.
Infeksi kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit
(berupa cacing) kedalam tubuh manusia, parasit ini mempunyai tubuh yang simestris
bilateral dan tersusun dari banyak sel (multi seluler). cacing yang penting atau cacing
yang sering menginfeksi tubuh manusia terdiri atas dua golongan besar yaitu filum
Platyhelmithes dan filum Nemathelminthes.Filum Platyhelmithes terdiri atas dua kelas
yang penting yaitu kelas Cestoda dan kelas Trematoda, sedangkan filum Nemathelmithes
kelasnya yang penting adalah Nematoda. Cacing gelang, cacing cambuk, cacing tambang
adalah kelas Nematoda yang selalu parasitik pada tubuh manusia dan menjadikannya
sebagai tempat hidup dan berkembang biak atau hospes definitif. (Arsad Rahim,
2007)
Jenis cacing yang sering ditemukan dapat menimbulkan infeksi adalah cacing
ascaris lumbricoides (A. lumbricoides), cacing Trichuris trichiura (T. trichiura) dan
cacing tambang Necator americanus (N. americanus) dan Ancylostoma duodenalle (A.
duodenalle) dan cacing Strongyloides stercoralis (S. stercoralis) dimana cara
penularanya melalui tanah atau yang disebut dengan Soil Transmitted Helminths atau
STH (Anonim, 2008). STH adalah kelompok cacing golongan nematoda, yang dalam perkembanganya
memerlukan tanah untuk berkembang menjadi bentuk infektif (Tjitra, E., 1991).
5
B. Penyebab Dan Morfologi
Helmint (cacing) adalah salah satu kelompok parasit yang dapat merugikan
manusia. Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi dua yaitu:
1. Nemathelminthes (cacing gilik)
2. Plathyhelminthes (cacing pipih)
Cacing yang termasuk Nemathelminthes yaitu kelas Nemotoda yang terdiri dari
Nematode usus dan Nematoda jaringan. Sedangkan yang termasuk Plathyhelminthes
adalah kelas Trematoda dan Cestoda. Namun yang akan dibahas di bawah ini adalah
kelompok Nematoda usus. Sebab sebagian besar dari Nematoda usus ini merupakan
penyebab kecacingan yang sering dijumpai pada masyarakat Indonesia khususnya
pada usia Sekolah Dasar. Diantara Nematoda usus ini yang sering menginfeksi
manusia ditularkan melalui tanah atau disebut ”soil transmitted helminths” yakni :x
a. Ascaris lumbricoides
b. Trichuris trichiura
c. Hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
C. Ascaris lumbricoides
1. Morfologi
Cacing Ascaris lumbricoides salah satu penyebab kecacingan pada manusia
yang disebut penyakit askariasis. Cacing dewasa mempunyai ukuran paling besar di
antaraNematoda intestinalis yang lain. Bentuknya silindris (bulat panjang), ujung
anterior lancip. Bagian anterior dilengkapi oleh tiga bibir yang tumbuh dengan
sempurna.18,20
Cacing betina berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan cacing jantan,
dengan ukuran panjangnya 20-35 cm. Pada cacing betina bagian posteriornya
membulat dan lurus. Tubuhnya berwarna putih sampai kekuning kecoklatan dan
diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris halus. Cacing jantan panjangnya 10-
30 cm, warna putih kemerah-merahan. Pada cacing jantan ujung posteriornya lancip
6
dan melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil kecil dan dua buah speculum
berukuran 2 mm. 19,20,21
Gambar 1.1. Cacing Ascaris lumbricoides Dewasa31
x
Gambar 1.2. Ascaris lumbricoides: A. Betina; B; Jantan31
2. Daur Hidup
Manusia dapat terinfeksi cacing ini karena mengkonsumsi makanan, minuman
yang terkontaminasi telur cacing yang telah berkembang. Telur yang telah
berkembang tadi menetas menjadi larva di dalam usus halus. Selanjutnya larva tadi
akan bergerak menembus pembuluh darah dan limfe di usus untuk kemudian
mengikuti aliran darah ke hati atau aliran limfe ke ductus thoracicus menuju ke
jantung. Setelah sampai di jantung larva ini akan dipompakan ke seluruh tubuh antara
7
lain ke paru-paru. Larva di dalam paru-paru ini mencapai alveoli dan tinggal selama
10 hari untuk berkembang lebih lanjut. Bila larva ini telah mencapai ukuran 1,5 mm,
ia mulai bermigrasi ke saluran nafas, ke epiglotis dan kemudian ke esofagus, lambung
akhirnya kembali ke usus halus dan menjadi dewasa yang berukuran 15-35 cm.
3. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh cacing
dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat berada di paru. Pada
orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan
pada paru yang disertai dengan batuk, demam, eosinofilia. Pada foto toraks tampak
infiltrat. Pada kasus ini sering terjadi kekeliruan diagnosis karena mirip dengan gambaran
TBC, namun infiltrat ini menghilang dalam waktu 3 (tiga) minggu, setelah diberikan obat
cacing pada penderita. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan
oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.14
Tantular, K (1980) yang dikutip oleh Moersintowarti (1990) mengemukakan
bahwa 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa dalam usus manusia mampu
mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gr dan 0,7 gr protein setiap hari. Dari hal
tersebut dapat di perkirakan besarnya kerugian yang disebabkan oleh infestasi cacing
dalam jumlah yang cukup banyak sehingga dapat menimbulkan keadaan kurang gizi. 16
Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini
menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).
8
4. Epidemiologi
Telur ascaris berkembang biak pada tanah liat yang mempunyai kelembapan
tinggi dan pada suhu 25-30˚C pada kondisi ini telur tumbuh menjadi interaktif
(mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu. (Jangkung Samidjo,2001)
5. pengobatan
Pada saat sekarang ini pemberian obat-obatan yang dapat mengel
Arkan cacing dari dalam usus. Obat-obatan yang dapat digunakan:
1. pirantel pamoat, dosis 10 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, memberikan hasil
yang memuaskan
2. mebendazol, dosis 100 mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga hari
berturut-turut. Hasil pengobatan baik, tetapi efek samping berupa iritasi
terhadap cacing sehingga cacing dapat terangsang untuk bermigrasi ke tempat
lain harus dipertimbangkan.
3. Oksantel-pirantel pamoat, dosis 10 mg/kgBB, dosis tunggal memberikan hasil
yang baik.
4. Albendazol, pada anak di atas dua tahun dapat diberikan dua tablet albendazol
(400mg) atau 20 ml suspensi, berupa dosis tunggal. Hasil cukup
memuaskan.31
D. Trichuris trichiura
1. Morfologi
Dalam bahasa Indonesia cacing ini dinamakan cacing cambuk karena secara
menyeluruh bentuknya seperti cambuk. Hospes defenitifnya adalah manusia. Cacing
ini lebih sering ditemukan bersama-sama dengan cacing Ascaris lumbricoides.
Cacing dewasa hidup di dalam usus besar manusia terutama di daerah sekum dan
kolon. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis. 18,20
Telur Trichuris trichiura berbentuk bulat panjang dan memiliki “sumbat”
yang menonjol di kedua ujungnya, dan dilengkapi dengan tutup (operkulum) dari
9
bahan mucus yang jernih. Telur berukuran 50-54 x 32 mikron. Kulit luar telur
berwarna kuning tengguli dan bagian dalam jernih. Cacing jantan panjangnya ± 4 cm,
dan cacing betina penjangnya ± 5 cm.19,21
Gambar 2.1. Cacing Trichuris trichiura dewasa(Kiri : betina, Kanan : jantan)
2. Daur Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut manjadi
matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang
lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan
bentuk yang infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur
matang. Larva keluar melalui telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah manjadi
dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum
(caecum). Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari
telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur kira-kira 30-90 hari.14
3. Patologi dan Gejala Klinis
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak,
cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa
rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat
10
terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini menghisap darah hospesnya,
sehingga dapat menyebabkan anemia.14
Bila infeksinya ringan biasanya asymtomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya
banyak biasanya timbul diarrhea dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi,
anemia, lemah dan berat badan menurun.20
5. Epidemiologi
Penyebaran penyakit ini adalah terkontaminasinya tanah dengan tinja yang
mengandung telur cacing cambuk. Telur tumbuh dalam tanah liat, lembab dan tanah
dengan suhu optimal ± 30ºC. infeksi cacing cambuk terjadi bila telur yang infektif
masuk melalui mulut bersamaan makanan atau minuman yang tercemar atau melalui
tangan yang kotor.2,26
Di daerah yang sangat endemic infeksi dapat dicegah dengan pengobatan
penderita Trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi
dan keberhasilan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan,
mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di
Negara-negara yang memakai tinja sebagai pupuk.26
6. Pengobatan
Obat-obatan yang dapat digunakan :
1. Mebendazol 100mg, dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut.
2. Albendazol, pada anak usia di atas dua tahun diberikan dengan dosis 400 mg
(2 tablet) atau 20 ml suspense berupa dosis tungal. Sedangkan anak dibawah 2
tahun deberikan separuhnya.
3. Gabungan pirantel-pamoat dengan mebendazol.29,31
xi
E. Ancylostoma Duodenale dan Nevator Americanus
11
1. Morfologi
Ada beberapa spesies cacing tambang yang penting dalam bidang medik,
namun yang sering menginfeksi manusia ialah cacing Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale. Hospes dari kedua cacing ini adalah manusia. Dan kedua
cacing ini menyebabkan penyakit Nekatoriasis dan Ankilostomiasis.20
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam
tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Bentuk telurnya oval,
dinding tipis dan rata, warna putih. Larva pada stadium rhabditiform dari cacing
tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka.
Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 700 mikron, mulut
tertutup ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan.19,21 Cacing
dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm sedangkan betina berukuran 10 sampai 13
mm. Cacing Necator americanus betina dapat bertelur ±9.000 butir/hari sedangkan
cacing Ancylostoma duodenale betina dapat bertelur ±10.000 butir/hari.
Gambar 3.1. Cacing Ancylostoma duodenale Dewasa 31
12
xii
Gambar 3.2. Cacing Necator americanus DewasaFigure 4.
2. Daur Hidup
Telur dapat tetap hidup dan larva akan berkembang secara maksimum pada
keadaan lembab, teduh dan tanah yang hangat, telur akan menetas 1-2 hari kemudian.
Dalam 5-8 hari akan tumbuh larva infektif filariform dan dapat tetap hidup dalam tanah
untuk beberapa minggu.14
Infeksi pada manusia didapat melalui penetrasi larva filariform yang terdapat di
tanah ke dalam kulit. Setelah masuk ke dalam kulit, pertama-tama larva di bawa aliran
darah vena ke jantung bagian kanan dan kemudian ke paru-paru. Larva menembus
alveoli, bermigrasi melalui bronki ke trakea dan faring, kemudian tertelan sampai ke usus
kecil dan hidup di sana. Mereka melekat di mukosa, mempergunakan struktur mulut
sementara, sebelum struktur mulut permanen yang khas terbentuk. Bentuk betina mulai
mengeluarkan telur kira-kira 5 (lima) bulan setelah permulaan infeksi, meskipun periode
prepaten dapat berlangsung dari 6-10 bulan. Apabila larva filariform Ancylostoma
duodenale tertelan, mereka dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus tanpa
melalui siklus paru-paru.14
13
3. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala-gejala awal setelah penetrasi larva ke kulit seringkali tergantung dari
jumlah larva. Dapat timbul rasa gatal yang minimal sampai berat dengan kemungkinan
infeksi sekunder apabila lesi menjadi vesicular dan terbuka karena garukan.
Berkembangnya vesikel dari ruam papula eritematosa disebut sebagai ”ground itch”.
Pneumonitis yang disebabkan karena migrasi larva tergantung dari pada jumlah larva
yang ada. Gejala-gejala infeksi pada fase usus disebabkan oleh nekrosis jaringan usus
yang berada dalam mulut cacing dewasa dan kehilangan darah langsung dihisap oleh
cacing dan terjadinya perdarahan terus-menerus di tempat asal perlekatannya, yang
kemungkinan diakibatkan oleh sekresi antikoagulan oleh cacing.14
Pada infeksi akut dengan banyak cacing, dapat disertai kelemahan, nausea,
muntah, sakit perut, diare dengan tinja hitam atau merah (tergantung jumlah darah yang
keluar), lesu dan pucat. Seperti pada infeksi parasit lainnya, jumlah cacing yang banyak
pada anak-anak dapat menimbulkan gejala sisa serius dan kematian. Selama fase usus
akut dapat dijumpai peningkatan eosinofilia perifer. Pada infeksi kronik, gejala utamanya
adalah anemia defisiensi besi dengan tanda pucat, edema muka dan kaki, lesu dan kadar
hemoglobin ≤ 5g/dL . Dapat dijumpai kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik.14
4. Epidemiologi
Hospes utama cacing tambang adalah manusia. Penyakit cacing tambang
menyerang semua umur dengan proporsi terbesar pada anak. Belum ada keterangan
yang pasti mengapa banyak anak yang diserang, tetapi penjelasan yang paling
mungkin adalah karena aktivitas anak yang relative tidak higienis dibandingkan
dengan orang dewasa. Di seluruh dunia diperkirakan penyakit ini menerang 700-900
juta orang, dengan 1 juta liter darah hilang ( 1 orang = 1 mL darah terhisap cacing).
Suatu penilitian melaporkan bahwa angka kesakitannya adalah 50% pada balita,
sedangkan 90% anak yang terserang penyakit ini adalah anak berusia 9 tahun. Buku
penyakit tropis.
14
5. Pengobatan
Obat-obat lain yang dapat digunakan:
1. Pirantel pamoat, dosis tunggal 10mg/kg BB
2. Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut- turut
3. Albendazol, pada anak usia diatas 2 tahun dapat diberkan 400 mg (2 tablet)
atau setara dengan 20 ml suspense, sedangkan pada anak yang lebih kecil
diberikan dengan dosis separuhnya, dilaporkan hasil cukup memuaskan.
(djuanda,A 2010) & (sulistia gan gunawan, 2007).
II. FAKTOR RESIKO PENYEBAB INFEKSI CACING YANG
DITULARKAN MELALUI TANAH
a. Higiein
1. Kebiasaan mencuci tangan
Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena
biasanya jari-jari tangan mereka dimasukan ke dalam mulut, atau
makan nasi tanpa cuci tangan, namun demikian sesekali orang dewasa
juga pertnua terdapat cacing. Cacing yang paling sering ditemui adalah
cacing gelang, tambang, benang, pita dan cacing kremi.28
2. Kebiasaan memotong kuku
Usaha pencegahan penyakit cacingan antara lain : menjaga
kebersihan badan, kebersihan lingkungan dengan baik, makanan dan
minuman yang baik dan bersih, memakai alas kaki, membuang air
besar di jamban (kakus), memelihara kebersihan diri dengan baik
seperti memotong kuku dan mencuci tangan sebelum makan.
Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku
sebaiknya selalu dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing
dari tangan ke mulut.26
15
3. Kebiasaan makan
Kebiasaan penggunaan feses manusia sebagai pupuk tanaman
menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan air
rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya syuran akan
meningkatkan jumlah penderita helminthes.
Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, nenyebabkan
terjadinya peularanpenyakit cacing tertentu. Misalnya kebiasaan
makan secara mentah atau setengah matang , ikan, kerang, daging dan
sayuran. Bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing,
maka siklus hidup cacingnya menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi
pada manusia.32
4. Kebiasaan memakai alas kaki
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah
gembur(pasir,humus) dengan suhu optimum necator americanus 28-
32ºC sedangkan untuk ancylostoma duodenale lebih kuat. Untuk
menghindari infeksi, antara lain ialah memakai sandal atau sepatu. 26
b. Sanitasi Rumah
lingkunga rumah merupakan tempat berinteraksi paling lama
dari anggota keluarga termasuk di dalamnya adalah anak. Kondisi
lingkungan rumah yang baik dalam hal sanitasi akan membantu
meminimalkan terjadinya gangguan kesehatan bagi penguninya. Anak
usia sekolah merupakan anggota keluarga yang masih harus
mendapatkan pengawasan dalam aktifitas kesehariannya. Dalam hal
kesehatan, perilaku bermain merupakan hal yang penting diperhatikan
dalam kaitannya dengan kondisi sanitasi lingkungan rumah. Kondisi
16
sanitasi lingkungan rumah yang aik tentu akan memberikan rasa aman
dan nyaman bagi anak untuk bermain. Pada lingkungan masyarakat
pedesaan, seorang anak bermain dihalam rumah, dikebun bersama
teman sebaya tetangga merupakan hal yang sangat wajar terjadi.
Dalam kaitannya dengan kebiasaan anak bermain di kebun, perlu
diwaspadai kemungkinan anak terpapar oleh cacing yang memang
membutuhkan media tanah untuk pengembangannya.26
c. Perilaku Social Ekonomi
1. pendidikan orang tua
kejadian kecacingan tertinggi pada anak sekolah dasar
di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah. Kabupaten kiro adalah
pada anak sekolah yang orang tuanya berpendidikan SD.
Kejadian infeksi yang lebih kecil ditemukan pada anak sekolah
yang orang tuanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih
baik.33
2. pekerjaan orang tua
jenis pekerjaan orang tua khususnya ibu ternyata
berhubungan bermakna dengan kejadian kecacingan. Di
sumatera utara, ibu yang memiliki pekerjaan sebagai petani
berhubungan bermakna dengan kejadian kecacingan pada anak.
Peran yang besar pada ibu dalam pengasuhan anak tampak
memberikan peluang cukup besar terjadinya proses penularan
dari ibu ke anak. Manakala ibu kurang memperhatikan
kebersihan diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari sementara
pekerjaaan selalu kontak dengan tanah maka anak yang berada
dalam asuhannya berpeluang cukup besar untuk terinfeksi
penyakit kecacingan.33
17
3. penghasilan orang tua
penelitian di Kabupaten Karanganyar menemukan hasil
bahwa infeksi cacing tambang berhubungan bermakna dengan
kondisi ekonomi orang tua murid dan kondisi sanitasi
lingkungan rumah. Hal ini menunjukan bahwa kondisi
ekonomi orang tua dan kondisi sanitasi lingkungan rumah
sangat mungkin menjadi factor risiko terjadinya infeksi cacing
tambang.34
factor resiko yang terbukti mempunyai hubungan
dengan kejadian infeksi kecacingan adalah umur, perilaku anak
dan penghasilan perkapita keluarga, sedangkan jenis kelamin,
suhu, kelembaban dan pekerjaan orang tua tidak terbukti
mempunyai hubungan. Infeksi cacing juga berhubungan
dengan kemiskinan.35
semakin parah tingkat kemiskinan masyarakat maka
akan semakin berpeluang untuk mengalami infeksi cacing
tambang. Hal ini dikaikan dengan kemampuan dalam menjaga
personal hygiene dan sanitaasi lingkungan tempat tinggal.36
4. kebiasaan defekasi anggota keluarga
perilaku defekasi (buang air besar) yang kurang baik
dan disembarag tempat diduga menjadi factor resiko dalam
infeksi cacing tambang. Secara teoritik, cacomg tambang
memerlukan media tanah untuk perkembangannya. Adanya
telur cacing tambang pada tinja penderita yang melakukan
aktifitas defekasi di tanah terbuka semakin memperbesar
peluang penularan larva cacing tambang pada masyarakat di
sekitarnya. Di Kabupaten Jembrana Bali, ditemukan bahwa
18
tempat keiasaan buang air besar merupakan salah satu factor
yang berhubungan dengan kejadian infeksi cacing.37
5. kerugian akibat kecacingan
cacingan mempengaruhi pemasukan (intake),
pencernaan (digestif), penyerapan (absorpsi), dan metabolism
makanan. Secara kumulatif, infeksi kecacingan menimbulkan
kerugian baik berupa kalori, protein dan darah. Selain dapat
menghambat perkembangan fisik, kecerdasan, dan
produktivitas kerja, dapat menimbulkan ketahanan tubuh
sehingga mudah terkena penyakit lainnya.2
III. Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis Nol (H0)
tidak ada hubungan antara hygiene, sanitasi, tingkat pendidikan, orang
tua, pekerjaan orang tua, penghasilan orang tua dengan derajat infeksi
cacing yang ditularkan melalui tanah
2. Hipotesis Alternative (H1)
- ada hubungan antara hygiene dengan derajat infeksi cacing yang
ditularkan melalui tanah pada murid SD…..
- ada hubungan antara sanitasi dengan derajat infeksi cacing yang
ditularkan melalui tanah pada murid SD…..
- ada hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan derajat
infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada murid SD….
- Ada hubungan antara pekerjaan orang tua dengan derajat infeksi
cacing yang ditularkan melalui tanah pada murid SD….
- Ada hubungan antara penghasilan orang tua dengan derajat infeksi
cacing yang ditularkan melalui tanah pada murid SD…..
19
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
1. Konsep Dasar Pemikiran
Berdasarkan tinjauan pustaka serta tujuan penelitian maka disusunlah
variable pola pikir. Menurut kepustakaan terdapat beberapa factor atau
masalah yang sangat berperan penting dalam penularan infeksi cacing
seperti pencemaran lingkungan, keadaan sanitasi yang buruk, dan perilaku
manusia. Pencemaran tanah dengan tinja merupakan media penularan baik
bagi penularan soil transmitted helminthes (STH). Oleh karena itu
pemeriksaan sampel tinja sangatlah mutlak dilakukan.
Pada penelitian ini variable bebas adalah hygiene perorangan siswa
dimana yang akan diukur yaitu kebiasaan mencuci tangan sebelum makan,
mencuci tangan dengan sabun, mencuci tangan setelah buang air besar,
mencuci tangan setelah bermain, memotong kuku dan menggunakan alas
kaki. Pada sanitasi lingkungan rumah dimana yang akan diukur yaitu
kepemilikan jamban, lantai rumah, sumber air minum, mandi, mencuci
dan mengonsumsi makanan dan minuman yang dimasak. kemudian
Pendidikan terakhir dan pekerjaan orang tua. Variable terikat adalah
infestasi cacing usus yang akan diatur dengan pemeriksaan feses
berdasarkan metode kato kitz dengan menggunakan mikroskopik di
laboratorium parasitologi.
20
2. Kerangka Teori
Gambar 4.1 kerangka teori
Keterangan gambar :
: variable yang tidak di teliti
: variable yang diteliti
Konsumsi makanan dan minuman yang dimasak
Lantai rumah
Sumber air
Kepemilikan jamban
Sanitasilingku ngan rumah
tanah
Sebelum makan
Setelah Buang air besar
Dengan sabun Kebiasaan
mencuci tangan
Setelah bermain
Infeksi parasit Higiein
perorangan
Kebiasaan memakai alas
Memotong kuku
Menggigit kuku
Perilaku social ekonomi
Pekerjaan orang tua
Penghasilan orang tua
Pendidikan orang tua
21
3. Kerangka Konsep
Gambar 4.2 Kerangka Konsep
4. Defenisi operasionalVariable Dependen 1. Infeksi cacing : terdapatnya telur cacing cambuk atau telur cacing
gelang dan atau cacing tambang dalam tinja anak sekolah yang diperiksa di laboratorium parasitologi.Hasil ukur :
Positif (+) : bila dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya telur cacing dewasa di dalam feses
Higiein perorangan :1. Kebiasaan cuci
tangan2. Kebiasaan
memakai alas kaki
3. Frekuensi memotong kuku
4. Kebiasaan menggigit kuku
Infeksi parasit
Perilaku social ekonomi :1. Pekerjaan orang
tua2. Pendidikan orang
tua3. Penghasilan orang
tua
Sanitasi Lingkungan Rumah :
1. Kepemilikan jamban
2. Lantai rumah3. Sumber air4. Konsumsi
makanan dan minuman yang dimasak
22
Negative (-) : bila dari hasil pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya telur cacing atau cacing dewasa di dalam feses.
2. Derajat infeksi : terdapatnya telur cacing cambuk atau telur cacing gelang dan atau telur cacing tambang dalam tinja anak sekolah diperiksa di laboratorium parasitologi. Cara pengukuran dengan menggunakan metode kato katz
No.
klasifikasiJenis cacingan
Cacing gelang Cacing cambuk
Cacing tambang
1. Ringan 1-4.999 1-999 1-1.9992. Sedang 5.000 – 49.999 1.000 – 9.999 2.000 – 3.9993. Berat ≥ 50.000 > 10.000 ≥ 4.000
Variable independen3. Higiein perorangan adalah tindakan yang dilakukan siswa untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan diri yakni :- Penggunaan alas kaki adalah kebiasaan siswa apakah
menggunakan alas kaki atau tidak pada saat bermain dan beraktivitas. Cara ukur dengan menggunakan kuisoner. Hasil ukurnya : 1. Menggunakan alas kaki 2. Tidak menggunakan alas kaki
- Kebiasaan mencuci tangan adalah kebiasaan sehari-hari dari siswa untuk membersihkan tangan sebelum makan, sesudah makan, setelah buang air besar atau setelah bermain di tanah dengan menggunakan sabun. Cara ukur dengan menggunakan kuisoner. Hasil ukur : 1. Mencuci tangan 2. Tidak mencuci tangan
- Memotong kuku adalah upaya yang dilakukan oleh murid/orang tua murid untuk memotong (membersihkan) kuku. Cara ukur dengan melihat langsung kuku murid dan mengisikannya ke dalam kuesioner dengan menggunakan kuesioner. Hasil ukur : 1. Bersih : bila kuku terpotong rapih dan bersih 2. Kotor : bila kuku panjang dan kotor atau pendek namun kotor.
- Menggigit kuku adalah upaya yang dilakukan oleh murid/orang tua murid untuk tidak menggigit kuku. Cara ukur dengan melihat langsung kuku murid dan mengisikannya ke dalam kuesioner dengan menggunakan kuesioner hasil ukur : 1. Menggigit kuku 2. Tidak menggigit kuku.
23
4. Sanitasi rumah : lingkungan rumah yang dinilai dari kebersihan kamar mandi atau jamban, kecukupan air bersih, kondisi lantai rumah dan konsumsi makanan dan minuman yang dimasak. Cara ukur dengan menggunakan kuesioner dan observasi. Hasil ukur : WC/jamban (1. WC umum 2. WC sendiri), (lantai rumah : 1. Tanah 2. Ubin/kayu/tegel), sumber air ( 1. Sumur/ sungai 2. PAM), konsumsi makanan dan minuman yang dimasak (1. Ya 2. Tidak).
5. Pekerjaan orang tua : aktivitas yang dilakukan oleh orang tua siswa untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan. Cara ukur dengan menggunakan kuesioner dan observasi. Hasil ukur :
1. Tidak bekerja, petani, buruh tukang2. Pegawai, wiraswasta, dan lain-lain
6. Pendidikan orang tua (ayah/ibu) : pendidikan terakhir orang tua siswa berdasarkan ijazah yang dimiliki. Cara ukur degan menanyakan langsung kepada murid/ orang tua murid yang bersangkutan menggunakan kuesioner. Hasil pengukuran: 1. Tidak sekolah, tamat SD dan SMP2. Tamat SMA dan perguruan tinggi
7. Penghasilan orang tua (ayah/ibu) : penghasilan responden akumulasi dalam sebulan. Cara ukur dengan menggunakan kuesioner. Hasil ukur :dalam satuan rupiah dan dikatergorikan :1. < 600.0002. ≥ 1.200.000
24