9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Matematika
2.1.1.1 Hakikat Matematika
Depdiknas (Susanto 2015:184) matematika berasal dari bahasa Latin,
manthanein atau mathema yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari”, sedang
dalam bahasa Belanda, matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti yang
kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Kurikulum 2006 mendefinisikan bahwa
matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi
modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya
pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi
dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan,
aljabar, analisis, teori peluang, dan diskrit. Untuk mengusai dan menciptakan
teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
Rusefendi (Wahyudi 2012:3) mengemukakan bahwa matematika itu
terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak terdefinisikan, definisi-definisi,
aksioma-aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya, sehingga
matematika disebut ilmu deduktif. Ibrahim (2012:2) matematika disebut deduktif,
sebab matematika tidak menerima generalisasi yang berdasarkan pada observasi,
eksperimen, coba-coba (induktif) seperti halnya ilmu pengetahuan alam dan ilmu-
ilmu pengetahuan umumnya. Kebenaran generalisasi matematika harus dapat
dibuktikan secara deduktif.
Hamzah (2014: 58) mendefinisikan matematika adalah cabang
pengetahuan eksak dan terorganisasi, ilmu deduktif tentang keluasan atau
pengukuran dan letak, tentna bilangan-bilangan dan hubungan-hubungannya, ide-
ide, struktur-struktur , dan hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis,
tentang struktur logika mengenai bentuk yang terorganisasi atas susunan besaran
dan konsep-konsep mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke aksioma atau
postulat akhirnya ke dalil atau teorema, dan terbagi ke dalam tiga bidang yaitu
9
10
aljabar, analisi dan geometri. Hal ini sependapat dengan Ibrahim (2012:8) bahwa
matematika adalah ilmu tentang struktur yang terorganisasikan, sebab
berkembang mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang
didefinisikan, ke postulat/aksioma, ke teorema. Sebagai sebuah struktur ia terdiri
dari beberapa komponen yang membentuk sistem yang saling berhubungan dan
terorganisir dengan baik.
Wahyudi (2012:5) juga berpendapat bahwa matematika merupakan suatu
ilmu yang mempelajari jumlah-jumlah yang diketahui melalui proses perhitungan
dan pengukuran yang dinyatakan dengan angka-angka atau simbol-simbol.
Menurut Susanto (2015:185), Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu
yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan
kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta
memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
Berdasarkan dari teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa matematika
merupakan ilmu deduktif yang berupa penjelasan yang logis sebagai hasil dari
proses pemikiran yang sistematis guna memajukan daya pikir manusia dalam
meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi termasuk dalam
penyelesaian masalah sehari-hari.
2.1.1.2 Pembelajaran Matematika di SD
Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberi konstribusi dalam
penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan
dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebutuhan
akan aplikasi matematika saat ini dan masa depan tidak hanya untuk keperluan
sehari-hari, tetapi terutama dalam dunia kerja, dan untuk mendukung
pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu matematika sebagai ilmu dasar
perlu dikuasai dengan baik oleh siswa, terutama sejak usia sekolah dasar (Ahmad
Susanto, 2013:185).
Ahmad Susanto (2015:186) juga mengemukakan bahwa pembelajaran
matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk
11
mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan
berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksi pengetahuan
baru sebagai upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi
matematika.
Jean Piaget (Karunia Eka dan Mokhammad, 2015:32) bahwa tahap
operasional konkret (usia 7-11 tahun) dengan ciri pokok perkembangan adalah
sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis serta ditandai
adanya reversible dan kekekalan. Siswa SD berada pada usia 7 hingga 12 tahun
dimana siswa SD masih terikat dengan objek yang ditangkap dengan panca indra,
sehingga sangat diharapkan dalam pembelajaran matematika bersifat abstrak,
siswa lebih banyak menggunakan alat peraga sebagai alat bantu karena dengan
penggunaan alat peraga dapat memperjelas apa yang disampaikan oleh guru,
sehingga siswa lebih mudah memahaminya.
Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika di SD harus disesuaikan dengan kemampuan siswa SD yaitu pada
tahap operasional konkret. Jadi pembelajaran matematika di SD harus lebih
mengutamakan apa yang ada dalam kehidupan nyata agar siswa mampu
mengaplikasikan matematika kedalam permasalahannya sehari-hari karena siswa
pada usia SD ini siswa sudah mampu bepikir secara logis. Oleh sebab itu guru
harus lebih menekankan pada konsep matematika, karena pemahaman konsep
merupakan prasyarat untuk menguasai konsep selanjutnya. Dengan kata lain,
pemahaman konsep itulah yang akan selalu digunakan siswa sampai jenjang
pendidikan yang lebih tinggi baik dunia kerja atau kehidupan sehari-hari.
2.1.1.3 Tujuan Pembelajaran Matematika SD
Susanto (2015:186) pembelajaran matematika merupakan suatu proses
belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas
berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat
meningkatkan kemampuan mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya
meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika. Susanto
(2015:189) juga mengemukakan bahwa secara umum tujuan pembelajaran
12
matematika di Sekolah Dasar (SD) adalah agar siswa mampu dan terampil
menggunakan matematika. Selain itu juga dengan pembelajaran matematika dapat
memberikan tekanan penataran nalar dalam penerapan matematika (Susanto,
2015:189).
Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari
sekolah dasar tentu memiliki tujuan, antara lain membekali siswa dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan
bekerja sama (Ibrahim: 2012:36). Tujuan pembelajaran matematika di Sekolah
Dasar, sebagaimana disajikan oleh Depdiknas 2006, sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep
atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam
pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
memperlajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembelajaran matematika di SD tidak hanya tentang hasil akhir berupa angka
yang memuaskan atau di atas rata-rata tetapi lebih kepada bagaimana siswa dapat
memahami konsep matematika karena konsep tersebut yang akan ia bawa sampai
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, siswa mampu menggunakan penalarannya
untuk menyusun rencana penyelesaian masalah atau mampu memecahkan
masalah dalam matematika yang dialaminya dan menerapkannya dalam
13
kehidupan sehari-hari. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka harus dilakukan
berbagai macam kegiatan, misalnya menggunakan berbagai model-model
pembelajaran dalam proses belajar mengajar yang dapat menunjang pembelajaran
matematika.
2.1.2. Pemahaman Konsep Matematika
Menurut Husle, Egeth dan Deese (Nurmalasari, 2014) mendefinisikan
bahwa konsep adalah sekumpulan atau seperangkat sifat yang dihubungkan oleh
aturan-aturan tertentu atau dapat dikatakan bahwa konsep merupakan ide atau
proses. Walgito (Nurmalasari, 2014) juga mengemukakan bahwa konsep adalah
konstruksi simbolik yang menggambarkan ciri-ciri suatu objek atau kejadian.
Pemahaman (understanding) adalah kemampuan menjelaskan situasi
dengan kata-kata yang berbeda dan dapat menginterpretasikan atau menarik
kesimpulan dari tabel, data , grafik dan sebagainya. Pemahaman itu lebih penting
dari sekedar menghafal (Ahmad Susanto, 2015:210).
Konsep-konsep dalam matematika merupakan suatu rangkaian sebab
akibat. Suatu konsep disusun berdasarkan konsep-konsep sebelumnya, dan akan
menjadi dasar bagi konsep-konsep selanjutnya, sehingga pemahaman yang salah
terhadap suatu konsep, akan berakibat pada kesalahan pemahaman terhadap
konsep-konsep selanjutnya (Wahyudi, 2012:16). Salah satu tujuan pembelajaran
matematika di SD adalah memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk
menghadapi materi-materi matematika pada tingkat lanjutan. Selain penguatan
terhadap konsep-konsep matematika, maka diperlukan pengenalan pada konsep-
konsep lanjutan seperti pemecahan masalah (Wahyudi, 2012: 25).
Pemahaman konsep matematis menurut Karunia dan Mokhammad (2015.
81) adalah kemampuan menyerap dan memahami ide-ide matematika. Indikator
kemampuan pemahaman konsep matematis, yaitu : (1) Mengidentifikasi dan
membuat contoh dan bukan contoh; (2) Menerjemah dan menafsirkan makna
simbol, tabel, diagram, gambar, grafik, serta kalimat matematis; (3) memahami
dan menerapkan ide matematis; dan (4) membuat suatu eksplorasi atau perkiraan.
14
Jadi dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman konsep
matematika adalah kemampuan dasar yang akan menuntun siswa untuk sampai
kepada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Siswa akan sampai pada kemampuan
berpikir tingkat tinggi jika ia telah memahami konsep. Pemahaman matematika
bukan hanya sekedar hafalan, namun dengan pemahaman tersebut siswa dapat
lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri. Pemahaman dalam
pembelajaran matematika sudah seharusnya diterapkan kepada setiap siswa oleh
guru, karena tanpa pemahaman, siswa tidak dapat mengaplikasikan konsep-
konsep materi yang dipelajari. Pemahaman matematika perlu diterapkan kepada
siswa di Sekolah Dasar sebagai pemahaman yang mendasar yang perlu
ditanamkan sejak dini. Hal ini juga terlihat dalam tujuan pertama pembelajaran
matematika menurut depdiknas (Permendiknas no 22 tahun 2006) yaitu
memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah,
sehingga setelah proses pembelajaran selesai siswa diharapkan mampu
menggunakan konsep-konsep tersebut kedalam penyelesaian masalah matematika.
2.1.3 Model Pembelajaran Problem Based Learning
2.1.3.1 Hakikat Model Pembelajaran Problem Based Learning
Barrow mendefinisikan Problem Based Learning (Pembalajaran Berbasis
Masalah) adalah pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju pemahaman
akan resolusi suatu masalah, masalah tersebut dipertemukan pertama-tama dalam
proses pembelajaran (Miftahul Huda 2013:271). Jadi fokus pembelajaran adalah
siswa bukan pada pengajaran dari guru.
Stephien dkk (Prisky, 2012:6) mengemukakan bahwa pembelajaran
berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa
untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga
siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut
dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. Prametasari
(2012:10) berpendapat bahwa pembelajaran berbasis masalah (Problem Based
Learning) adalah sebagai model pembelajaran yang diawali dengan pemberian
15
masalah kepada siswa di mana masalah tersebut dialami atau merupakan
pengalaman sehari-hari siswa selanjutnya siswa menyelesaikan masalah tersebut
untuk menemukan pengetahuan baru.
Berdasarkan pengertian di atas Problem Based Learning (PBL) adalah
pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai unsur utama yang disajikan
sebagai awal dari pembelajaran, biasanya masalah yang dimunculkan yang
memiliki konteks dunia nyata atau menelaah sebuah kasus. Akan tetapi syarat dari
masalah tersebut harus dapat memunculkan rasa ingin tahu siswa, merangsang
siswa untuk mengamati serta mampu membuat keterlibatan siswa dalam
memecahkan masalah.
2.1.3.2 Karakteristik Model Pembelajaran Problem Based Learning
Problem Based Learning adalah model pembelajaran yang dirancang
dengan mendatangkan masalah-masalah yang menuntut siswa agar pandai dalam
memecahkan masalah dan memiliki strategi belajar yaitu bekerja secara kelompok
atau tim.
Ciri-ciri pembelajaran berbasis masalah menurut Soffan Amri dan Iif
(2010:72), adalah sebagai berikut :
1. Guru harus menerapkan pengajaran yang menitik beratkan pada siswa,
suatu kerangka dukungan untuk memperkaya inkuiri dan pertumbuhan
intelektual siswa.
2. Peran guru dalam pembelajaran berbasiskan masalah adalah
menyodorkan masalah-masalah otentik, memfasilitasi penyelidikan
siswa dan mendukung pembelajaran siswa.
3. Guru harus menciptakan lingkungan kelas yang mendukung agar terjadi
pertukaran dan pembagian ide secara terbuka, tulus dan jujur.
4. Meskipun sulit tetapi ketrampilan bepikir tingkat tinggi harus
diterapkan.
5. Ciri khas pembelajaran berbasis masalah yaitu :
a. Mengajukan pertanyaan atau masalah
b. Berfokus pada interdisiplin
16
c. Penyelidikan otentik
d. Menghasilkan karya nyata dan memamerkan
e. Kolaborasi
Arends (Mohamad Jauhar 2011:87) menjelaskan berbagai pengembang
pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berbasis masalah
mengorganisasikan pengajaran disekitar pertanyaan dan masalah yang
dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk
siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik, menghindari
jawaban sederhana dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi
untuk situasi itu.
2. Berfokus pada keterkaitan antardisiplin. Meskipun pembelajaran berbasis
masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu, masalah yang
akan diselidiki telah benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa
meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
3. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berbasis masalah mengharuskan
siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata
terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan
masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpul
dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan),
membuan inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu,
metode penyelidikan yang digunakan, bergantung kepada masalah yang
sudah dipelajari.
4. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berbasis
masalah ini menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau
mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk
tersebut dapat berupa transkip debat pada pelajaran “Roots and wings”.
Produk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video maupun progam
komputer. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan dijelaskan
17
kemudian, direncanakan oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada
teman-temannya yang lain tentang apa yang mereka pelajari dan
menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau
makalah.
5. Kolaborasi. Pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang
bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering berpasangan atau
dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi secara
berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak
peluanf untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan
ketrampilan sosial dan ketrampilan berpikir.
2.1.3.3.Peran Guru dalam Problem Based Learning
Pada pembelajaran berbasis masalah ini guru memiliki peran yang sangat
penting, sebab guru harus menyediakan masalah yang menarik agar siswa
memiliki ketertarikan untuk menyelesaikan masalah. Objek pelajaran tidak
dipelajari dalam buku, tetapi dari masalah disekitarnya. Menurut Trianto
(2014:69), guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, pembimbing dan
motivator. Guru mengajukan masalah yang autentik/mengorientasikan siswa
kepada permasalahan yang nyata (real world), memfasilitasi/membimbing
(scaffolding) dalam proses penyidikan, memfasilitasi dialog antar siswa,
menyediakan bahan ajar siswa serta memberikan dukungan dalam upaya
meningkatkan temuan dan perkembangan intelektual siswa.
Taufik Amir (2015:48) Proses Problem Based Learning menjelaskan
bahwa fungsi pendidik (guru) bukan lagi penguasa diatas panggung kelas tapi
memandu dari pinggir. Jelas, perannya seperti mentor yang sedang melakukan
proses coaching. Menurut Ho (Taufik Amir 2015:48), Coaching adalah sebuah
proses penentuan sasaran, pemodelan, pemanduan, pemfasilitasi, pemonitoran,
dan memberikan umpan balik pada pemelajar dalam rangka mendukung pemelajar
berpikir aktif dan mandiri. Karena itulah di berbagai literatur tentang coaching
dalam pendidikan ditemukan istilah “to be a successful teacher, you must be a
successful coach”.
18
Taufik Amir (2015:103-104) juga berpendapat bahwa pendidik juga
sebagai entreprenuer sebab selain hanya soal kecakapan memfasilitasi di kelas,
pelaksanaan Problem Based Learning juga terkait dengan perubahan mindset,
kerangka pikir, ini juga soal ketrampilan kerangka pikir sebagai entreprenuer.
Dalam menyajikan solusi atas masalah yang diberikan, mereka juga harus
bersikap mempertanyaan (challenging) pendapat dan alasan teman baik di satu
kelompok atau kelompok lain. Atas dasar inilah sesungguhnya pendidik juga
harus bersikap yang sama dalam melihat model Problem Based Learning.
Meskipun dalam pelaksanaannya akan terdapat kendala-kendala, ia harus punya
perspektif dalam melihat ini. Dengan pola pikir (mindset) entreprenuer pula,
seorang pendidik harusnya memiliki keyakinan, bahwa ia dapat mengkontrol
situasi yang akan dihadapinya, bukan ia yang dikontrol situasi.
Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa dalam model
pembelajaran ini guru memiliki peranan yang sangat penting, yaitu sebagai
mentor yang sedang melakukan proses coaching, mulai dari memberikan
permasalahan yang nyata, memfasilitasi, serta membimbing selama proses
pembelajaran berlangsung.
2.1.3.4 Langkah-langkah Problem Based Learning
Beberapa sintaks Problem Based Learning dapat dilakukan melalui 5
tahap, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1
Sintaks Problem Based Learning
Tahap Tingkah Laku Guru
Tahap 1
Orientasi Masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik
yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi
atau cerita yang memunculkan masalah, memotivasi siswa
untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih
Tahap 2
Mengorganisasi siswa
untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan
tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
Tahap 3
Membimbing
penyidikan individual
maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah
Tahap 4
Mengembangkan dan
Guru membanti siswa dalam merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan, video dan model serta
19
Tahap Tingkah Laku Guru
menyajikan hasil karya membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
Tahap 5
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyidikan mereka dan proses-proses yang mereka
gunakan
Tabel 2
Pemetaan Sintak Model Problem Based Learning dalam Standar Proses
Dalam Permendiknas No 41 Tahun 2006
Model Sintak
Langkah Dalam Standar Proses
Pendahu
luan
Kegiatan Inti
Penutup Eksplora
si Elaborasi
Konfirm
asi
Problem
Based
Learning
(PBL)
1. Memberikan orientasi permasalahan pada
siswa
√
2. Mengorganisir siswa untuk meneliti
√
3. Melakukan penyelidikan √
4. Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Karya
√
5. Mengevaluasi proses pemecahan masalah
√ √
2.1.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Problem Based Learning
Kelebihan dari pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning)
menurut Trianto (2014: 68) adalah sebagai berikut :
1. Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan, sebab mereka sendiri yang
menemukan konsep tersebut.
2. Melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut ketrampilan
berpikir siswa yang lebih tinggi.
3. Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa sehingga
pelajaran lebih bermakna.
4. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah yang
diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat
meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang
dipelajari.
20
5. Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan
menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif
diantara siswa.
6. Pengondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi
terhadap pembelajar dan temannya, sehingga pencapaian ketuntasan
belajar siswa sangat diharapkan.
Kekurangan Problem Based Learning menurut Mohamad Jauhar (2011:
86), adalah sebagai berikut :
1. Untuk siswa yang malas tujuan dari model ini tidak akan tercapai.
2. Membutuhkan banyak waktu dan dana.
3. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan model ini.
2.1.4 Model pembelajaran Learning Cycle 7E
2.1.4.1 Hakikat Pembelajaran Learning Cycle 7E
Karplus & thier (Aziz, 2013:18) mendefinisikan Learning Cycle 7E adalah
suatu model pembelajaran yang berpusat pada peserta belajar sehingga siswa
secara aktif menemukan konsep sendiri. Model ini adalah penyempurnaan dari
model Learning Cycle 5E yang sebelumnya juga penyempurnaan Learning Cycle
3E. Dengan demikian, proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer
pengetahuan dari guru ke siswa tetapi merupakan proses penerimaan konsep yang
berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif, proses pembelajaran seperti ini
yang akan mudah diingat siswa. Menurut Eisenkraft (Indrawati) menyatakan
bahwa model pembelajaran Learning Cycle 7E bertujuan untuk menekankan
pentingnya memunculkan pemahaman awal siswa dan memperluas (transfer)
konsep.
Johnston (Pebriana, 2012) bahwa Learning Cycle (LC) merupakan
rangkaian tahap-tahap kegiatan yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga
pembelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam
pembelajaran dengan jalan berperan aktif. Pada mudanya LC ini hanya terdapat 3
fase (3E), yaitu Exploration, Elaboration dan Evaluation. Selanjutnya LC
berkembang menjadi lima fase (5E) dan tujuh fase (7E). Learning Cyle 7E ini
21
terdiri dari tujuh tahap yaitu (1) Elicit (Memunculkan Pemahaman Awal); (2)
Engage (pembangitan minat); (3) Explore (eksplorasi); (4) Explain (penjelasan);
(5) Elabore (penerapan konsep); (6) Evalute (evaluasi) dan (7) Extend
(Memperluas).
Jadi, Learning Cycle 7E adalah rangkaian kegiatan pembelajaran berupa
tahapan-tahapan tertentu yang memungkinkan agar siswa dapat berperan aktif
untuk memahami konsep-konsep yang akan dipelajari dan mengetahui keterkaitan
yang lebih luas yang berhubungan dengan konsep tersebut.
2.1.4.2 Karakteristik Model Pembelajaran Learning Cycle 7E
Learning Cycle atau siklus belajar telah dikembangkan dengan teori
belajar yang telah dikembangkan tentang bagaimana siswa seharusnya belajar.
Pada model pembelajaran Learning Cycle 7E ini lebih sempurna, sebab
sebelumnya siklus belajar memiliki 5 fase dan sekarang telah ditambahkan 2 fase
yaitu elicit dan extend. Elicit adalah fase untuk mengetahui sampai dimana
pengetahuan siswa terhadap pelajaran yang akan dipelajari dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pengetahuan awal siswa agar timbul
respon dari pemikiran siswa yang menimbulkan rasa penasaran. Pertanyaan yang
diajukan guru biasanya berhubungan dengan pelajaran yang mengambil contoh
dalam kehidupan sehari-hari. Extend yaitu fase yang bertujuan untuk berpikir,
mencari, menemukan dan menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah
dipelajari bahkan dalam fase ini dapat merangsang siswa untuk mencari hubungan
konsep yang mereka pelajari dengan konsep lain.
Jadi, Learning Cycle 7E adalah bentuk dari penyempurnaan siklus belajar
yang sebelumnya memiliki 5 fase. Tahapan Learning Cycle 7E tersebut adalah
Elicit, Engage, Explore, Explain, Elaborate, Evaluate dan Extend.
2.1.4.3 Peran Guru dalam Learning Cycle 7E
Pada model pembelajaran Learning Cycle 7E, guru mengakses
pengetahuan siswa dan membangkitkan antusias siswa. Guru membangkitkan
minat belajar siswa untuk tertarik dan siap untuk belajar. Implementasi Learning
22
Cycle 7E dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang
mengelola berlangsungnya tahapan-tahapan tersebut mulai dari perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi.
2.1.4.4 Langkah-langkah Learning Cycle 7E
Beberapa sintaks pembelajaran Learning Cycle 7E dapat dilakukan
melalui 7 tahapan menurut Eisenkraft (Aziz, 2013:21), yaitu sebagai berikut:
1. Fase Elicit (Mendatangkan pengetahuan awal siswa)
Pada fase ini guru berusaha menimbulkan atau mendatangkan
pengetahuan awal siswa. Pada fase ini dapat dilakukan dengan cara guru
memberikan pertanyaan pada siswa mengenai fenomena dalam kehidupan
sehari-hari yang terkait dengan materi yang akan dipelajari. Namun pada
fase ini, guru tidak memberitahukan jawaban yang benar dari pertanyaan
yang diajukan dan guru hanya memancing siswa sehingga siswa akan
lebih termotivasi untuk belajar agar dapat mengetahui jawaban sebenarnya
dari pertanyaan tersebut.
2. Fase Engage (Melibatkan)
Fase ini guru berusaha membangkitkan minat dan pengetahuan
siswa tentang topik yang akan diajarkan, guru mengembangkan minat dan
memotivasi siswa dengan menunjukan demonstrasi atau permasalahan
sehari-hari.
3. Fase Exploration (Menyelidiki)
Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan dengan pengalaman
langsung yang berhubungan dengan konsep yang dipelajari. Siswa diberi
kesempatan untuk bekerja secara mandiri dalam kelompok-kelompok
kecil.
4. Fase Explain (Menjelaskan)
Guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat
mereka sendiri, memberikan fakta dan klarifikasi terhadap penjelasannya,
dan mendengarkan penjelasan siswa secara kritis.
5. Fase Elaborate (Menerapkan)
23
Fase ini adalah fase dimana siswa menerapkan konsep atau
ketrampilannya pada situasi baru dan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menyelidiki konsep-konsep tersebut lebih lanjut.
6. Fase Evaluation (Menilai)
Fase evaluasi ini terdari dari evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Evaluai formstif tidak boleh dibatasi pada siklus-siklus tertentu
saja, sebaiknya guru selalu menilai semua kegiatan siswa. Apabila dalam
pembelajaran dilakukan praktikum maka pengujian harus termasuk
pertanyaan yang berkaitan dengan praktikum.
7. Fase Extend (Memperluas)
Fase ini bertujuan untuk berpikir, mencari, menemukan dan
menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah dipelajari bahkan
kegiatan ini dapat merangsang siswa untuk mencari hubungan konsep
yang mereka pelajari dengan konsep lain yang sudah atau belum mereka
pelajari.
Ketujuh tahapan diatas adalah langkah-langkah yang harus dilakukan guru
dan siswa untuk menerapkan Learning Cycle 7E pada proses pembelajaran. Guru
dan siswa mempunyai peran masing-masing dalam setiap tahapan dalam kegiatan
pembelajaran menggunakan Learning Cycle 7E. Kegiatan pembelajaran lebih
didominasi oleh peran siswa, sementara guru berperan sebagai fasilitator. Berikut
arah pembelajaran Learning Cycle 7E yang dianjurkan oleh National Science
Teacher Association (NSTA) (Aziz, 2013:21):
Tabel 3
Arah Pembelajaran Learning Cycle 7E
Fase Arah Pembelajaran Kegiatan guru Kegiatan Siswa
Elicit 1. Menarik Perhatian siswa sebelum
pemberian
pengetahuan
2. Membantu dalam mentransfer
pengetahuan
3. Membangun pengetahuan baru
diatas pengetahuan
yang telah ada
1. Memfokuskan siswa terhadap materi yang
akan dipelajari
2. Mengajukan pertanyaan kepada
siswa untuk
menggali
pengetahuan awal
3. Menampung semua jawaban siswa
1. Memfokuskan diri terhadap apa yang
disampaikan oleh guru
2. Mengingat materi yang telah dipelajari
3. Mengajukan pendapat jawaban berdasarkan
pengetahuan sebelumnya
24
Fase Arah Pembelajaran Kegiatan guru Kegiatan Siswa
Engange 1. Memfokuskan pikiran dan
perhatian siswa
2. Bertukar informasi dan pengalaman
dengan siswa
1. Menyajikan demonstrasi atau
fenomena alam
yang berkaitan
dengan kehidupan
sehari-hari
2. Memberikan pertanyaan untuk
merangsang
motivasi dan
keingintahuan siswa
1. Memperhatikan ketika guru menjelaskan atau
mendemonstrasikan suatu
fenomena
2. Mencari dan berbagi informasi yang
mendukung konsep yang
akan dipelajari
3. Memberikan pendapat jawaban
Explore 1. Melakukan eksperimen
2. Mencatat data, membuat grafik,
menginterpretasi
hasil
3. Diskusi 4. Guru membimbing
dan memeriksa
pemahaman siswa
1. Menjelaskan maksud dari
pembelajaran untuk
melaksanakan
eksperimen atau
diskusi
2. Memandu dan membimbing siswa
dalam melakukan
eksperimen
3. Memberi waktu yang cukup kepada
siswa untuk
menyelesaikan
eksperimen
1. Melakukan eksperimen untuk mendapatkan data
2. Mencatat data, membuat grafik, dan
menginterpretasikan hasil
3. Diskusi dalam kelompok untuk menjawab
permasalahan yang
disajikan dalam LKS
Explain 1. Siswa mengkomunikasikan
apa yang telah
dieksplorasi secara
tertulis dan lisan
2. Menyimpulkan hasil eksplorasi
3. Pembenaran
1. Membimbing siswa dalam menyiapkan
laporan eksperimen
2. Menganjurkan siswa untuk
menjelaskan
laporan eksperimen
dengan kata-kata
mereka sendiri
3. Memfasilitasi siswa untuk melakukan
presentasi laporan
eksperimen
4. Mengarahkan siswa pada data dan
petunjuk telah
diperoleh dari
pengalaman
sebelumnya atau
dari hasil
eksperimen untuk
mendapatkan
kesimpulan
1. Melakukan persentasi dengan cara menjelaskan
data yang diperoleh dari
hasil eksperimen
2. Mendengarkan penjelasan kelompok lain
3. Mengajukan pertanyaan terhadap penjelasan
kelompok lain
4. Mendengarkan dan memahami klarifikasi
yang disampaikan guru
5. Menyimpulkan hasil eksperimen berdasarkan
data yang telah didapat
Elaborate 1. Transfer pembelajaran
2. Aplikasi dari pengetahuan baru
yang telah
1. Mengajak siswa menggunakan
istilah umum
2. Memberikan soal atau permasalahan
1. Menggunakan istilah umum dan pengetahuan
baru
2. Menggunakan informasi sebelumnya yang didapat
25
Fase Arah Pembelajaran Kegiatan guru Kegiatan Siswa
didapatkan dan mengarahkan
siswa untuk
menyelesaikan
3. Menganjurkan siswa untuk
menggunakan
konsep yang telah
mereka dapatkan
untuk bertanya,
mengemukakan pendapat
dan membuat keputusan
3. Menerapkan pengetahuan yang baru untuk
menyelesaikan soal
Evaluate 1. Melakukan penilaian:
a. Formatif b. Summatif c. Informal d. Formal
1. Memberikan penguatan terhadap
konsep yang telah
dipelajari
2. Melakukan penilaian kinerja melalui
observasi selama
proses pembelajaran
3. Memberikan kuis
1. Mengerjakan kui 2. Menjawab pertanyaan
lisan yang diajukan oleh
guru (baik berupa
pendapat maupun fakta)
Extend 1. Menghubungkan satu konsep ke
konsep lain
2. Menghubungkan subjek satu ke
subjek lain
1. Memperlihatkan hubungan antara
konsep yang
dipelajari dengan
konsep lain
2. Memberikan pertanyaan untuk
membantu siswa
melihat hubungan
antar konsep yang
dipelajari dengan
konsep lain
3. Mengajukan pertanyaan tambahan
yang sesuai dan
berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari
sebagai aplikasi
konsep dari materi
yang dipelajari
1. Membuat hubungan antar konsep yang telah
dipelajari dengan
kehidupan sehari-hari
sebagai gambaran aplikasi
konsep yang nyata
2. Menggunakan pengetahuan dari hasil eksperimen
untuk bertanya dan
menjawab pertanyaan dari
guru terkait konsep yang
telah dipelajari
3. Berpikir, mencari, menemukan dan
menjelaskan contoh
konsep yang telah
dipelajari
Tabel 4
Pemetaan Sintak Model Learning Cycle 7E dalam Standar Proses
Dalam Permendiknas No 41 Tahun 2006
Model Sintak
Langkah Dalam Standar Proses
Pendahuluan Kegiatan Inti
Penutup Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi
Learning
Cycle 7E
(LC 7E)
1. Elicit √
2. Engange √
3. Explore √
4. Explain √
5. Elaborate √
6. Evaluate √ √
7. Extend √
26
Berdasarkan penjelasan tentang Learning Cycle (LC) diatas, dapat
disimpulkan bahwa LC 7E adalah tahapan-tahapan kegiatan pembelajaran dimana
dalam penerapan pembelajaran tersebut melewati rangkaian proses yang dengan 7
fase/tahap yaitu (1) Elicit (Memunculkan Pemahaman Awal); (2) Engage
(pembangitan minat); (3) Explore (eksplorasi); (4) Explain (penjelasan); (5)
Elaborate (penerapan konsep); (6) Evaluate (evaluasi) dan (7) Extend
(Memperluas).
2.1.4.5 Kelebihan dan Kekurangan Learning Cycle 7E
Kelebihan dari model Learning Cycle 7E menurut Lorsbach (Aziz,
2013:25) adalah sebagai berikut:
1. Merangsang siswa untuk mengingat materi pelajaran yang telah
mereka dapatkan sebelumnya.
2. Memberikan motivasi kepada siswa untuk menjadi lebih aktif dan
menambah rasa keingintahuan siswa.
3. Melatih siswa belajar melakukan konsep melalui kegiatan eksperimen.
4. Melatih siswa untuk menyampaikan secara lisan konsep yang telah
mereka pelajari.
5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir, mencari,
menemukan, dan menjelaskan contoh penerapan konsep yang telah
dipelajari.
6. Guru dan siswa menjalankan tahapan-tahapan pembelajaran yang
saling mengisi satu sama lainnya.
7. Guru dapat menerapkan model ini dengan metode yang berbeda-beda.
Kelemahan dari model pembelajaran Learning Cycle 7E menurut fajaroh
(Aziz, 2013:25) adalah sebagai berikut:
1. Efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi
dan langkah-langkah pembelajaran.
2. Menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan
melaksanakan proses pembelajaran.
27
3. Memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun
rencana dan melaksanakan pembelajaran.
2.2 Hubungan Problem Based Learning dan Learning Cycle 7E terhadap
Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika
Pemahaman berasal dari kata dasar paham, menurut KBBI paham berarti
mengerti benar jadi seseorang dikatakan paham jika ia telah mengerti benar dan
mampu menjelaskan suatu hal yang telah ia pahami. Menurut Mastie dan Jhonson,
pemahaman terjadi ketika seseorang mampu mengenali, menjelaskan dan
menginterprestasikan masalah. Kemampuan pemahaman konsep menjadi
landasan untuk menyelesaikan suatu masalah atau persoalan.
Pembelajaran Problem Based Learning dan Learning Cycle 7E memiliki
persamaan yaitu terletak pada diawalinya pemberian masalah yang menarik yang
dapat menarik siswa untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam memecahkan
masalah siswa harus memahami benar masalah tersebut dan kemudian menyusun
langkah-langkah pemecahan masalah. Model pembelajaran tersebut merupakan
pembelajaran berkelompok, dengan didasari kerja sama tersebut siswa dapat
menyumbangkan pendapat-pendapat mereka. Artinya salah satu siswa
menyempurnakan kekurangan anggota kelompoknya, sehingga mereka akan
memusatkan pada satu pemikiran yang menghasilkan tumbuhnya pengetahuan
baru untuk menyelesaikan masalah.
2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Dalam sebuah penelitian harus memiliki acuan sebagai dasar penelitian.
Dalam penelitian ini memiliki dasar dari penelitian sebelumnya. Adapun
penelitian yang relevan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Weny Indrawati, Impelemtasi Model Learning Cycle 7E Pada
Pembelajaran Kimia dengan Materi Pokok Kelarutan dan Hasil Kali
Kelarutan untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Ketrampilan
Berpikir Kritis Siswa SMA. Hasil penelitian menunjukan bahwa : (1)
Keterlaksanaan RPP dengan nilai rata-rata 4,59 dengan kategori sangat
28
baik; (2) Frekuensi aktivitas siswa yang menonjol adalah bekerja sama
dengan tim sekelompok sebesar 33%; (3) Respon positif siswa terhadap
model pembelajaran dengan nilai rata-rata 3,2; (4) Ketuntasan klasikal
penguasaan konsep 92% dan ketuntasan indikator 77%; (5) Ketuntasan
klasikal ketrampilan berpikir kritis 100% ketuntasan indikator 80% dan
didukung skor peningkatan yang tinggi terhadap penguasaan konsep dan
kertrampilan berpikir kritis siswa. Jadi dapat disimpulkan bahwa
implementasi model pembelajaran Learning Cycle 7E pada materi pokok
kelarutan dan hasil kali kelarutan efektif untuk meningkatkan penguasaan
konsep dan ketrampilan berpikir kritis siswa.
2. Lucki Winandasari P., Penerapan Model Learning Cycle 7E untuk
meningkatkan motivasi belajar fisika dan hasil belajar siswa kelas X-2
MAN 2 Malang Kota Batu. Pada siklus I belum terlaksana secara
maksimal, yaitu dengan persentase sebesar 59,36%. Pada silkus II
penerapan pembelajaran tersebut telah terlaksana dengan persentase
sebesar 81,00%. Penerapan pembelajaran LC 7E dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa dari siklus I kr siklus II dengan persentase sebesar
14,39%. Penerapan pembelajaran LC 7E yang dilakukan pada siklus I dan
siklus II terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa, meningkatkan
hasil belajar kognitid sebesar 1,97%, peningkatan hasil belajar afektif
sebesar 3,24%, dan hasil belajar Psikomotorik mengalami peningkatan
3,17%.
3. Ade Febriyanto Wigar (2012), Efektivitas Penggunaan Model Problem
Based Learning (PBL) dalam Pembelajaran Matematika pada Siswa kelas
V SD Semester II Desa Depok Tahun Ajaran 2011/2012. Hasil uji T
menunjukan bahwa nilai t hitung > t tabel (3.173 > 2.023) dengan
signifikansi 0,03 < 0,05. Jika Nilai t hitung positif, ini berarti rata-rata
kelompok 1 atau kelompok eksperimen lebih tinggi dari pada kelompok 2
atau kelompok kontrol. Rata-rata untuk kelompok eksperimen adalah
78.60 dan kelompok kontrol adalah 64.14. dari hasil penelitian yang
dilakukan membuktikan bahwa pembelajaran menggunakan Problem
29
Based Learning lebih efektif dibandingkan dengan konvensional dalam
pembelajaran Matematikan pada siswa kelas V SD.
4. Ruswinarno (2014). Penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
(Problem Based Learning) untuk meningkatkan hasil belajar matematika
pada siswa kelas 6 semester I SD N Batiombo 02 kecamatan Bandar tahun
pelajaran 2013/2014. Hasil belajar siswa meningkat dari kondisi pra siklus
ketuntasan belajar hanya 60,87% dengan nilai rata-rata 63,26, pada siklus
1 ketuntasan belajar meningkat menjadi 73,91% dengan nilai rata-rata
66,30%, lalu ketuntasan pada siklus 2 menjadi 100% dengan nilai rata-rata
71,08. Dengan demikian penerapan model pembelajaran berbasis masalah
(PBL) mampu meningkatkan hasil perolehan nilai siswa.
5. Prisky Chitika (2012). Pengaruh penggunaan model pembelajaran berbasis
masalah (Problem Based Learning) terhadap hasil belajar IPA siswa kelas
IV SDN 3 Jepon kecamatan Jepon kabupaten Blora semester II tahun
ajaran 2011/2012. Hasil uji t menunjukan bahwa t hitung > t tabel
(5,345>4,660). Signifikansi (0,000
30
No Peneliti
Variabel X
Variabel Y Kelas Hasil Model
Pebelajaran
Pendekatan
Pembelajaran
Winandasari
P.
Cycle 7E Belajar dan
Hasil Belajar
MAN hasil belajar
meningkat
3
Ade
Febriyanto
Wigar
Problem
Based
Learning
- Hasil belajar
matematika V SD
Penggunaan
model PBL
efektif
4 Ruswinarno
Problem
Based
Learning
- Hasil belajar
matematika VI SD
Hasil belajar
meningkat
5 Pristy Chitika
Problem
Based
Learning
- Hasil belajar
IPA IV SD
Model
pembelajaran
berbasis
masalah
berpengaruh
Berdasarkan penelitian yang relevan tersebut dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran Learning Cycle 7E dan Problem Based Learning dapat
meningkatkan hasil belajar. Namun dalam penelitian ini akan meneliti tentang
perbedaan kemampuan pemahaman konsep matematika yang diajar dengan
Problem Based Learning dan Learning Cycle 7E.
2.4 Kerangka Berpikir
Tuntutan kurikulum yang lebih menekankan pada pencapaian target sangat
berpengaruh dalam pembelajaran matematika, dimana semua bahan ajar atau
materi harus diselesaikan dalam waktu tertentu dan mengabaikan pemahaman
konsep metamatika. siswa cenderung menerima apa yang disampaikan guru dan
guru identik memberikan rumus mentah tanpa menanamkan konsep matematika
sehingga dalam memecahkan masalah matematika siswa tidak dapat memberikan
alasan yang masuk akal. Pembelajaran menghafal yang terjadi secara terus
menerus mengakibatkan rendahnya pemahaman konsep matematika dan
berdampak pada hasil belajar yang tidak memuaskan.
Tujuan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan kemampuan
pemahaman konsep yang diajar dengan model pembelajaran Problem Based
Learning dan Learning Cycle 7E dilihat dari kemampuan pemahaman konsep
matematika. Dalam penelitian ini akan digunakan 2 kelas yaitu kelas eksperimen
1 dan kelas eksperimen 2. Kelas eksperimen 1 menerapkan model pembelajaran
31
Problem Based Learning dan kelas eksperimen 2 menerapkan model
pembelajaran Learning Cycle 7E. Penelitian ini dimulai dengan memberikan soal
pretest jenis uraian yang sama kepada kedua kelas eksperimen tersebut untuk
mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kemampuan pemahaman konsep
matematika sebelum diberi perlakuan. Kemudian jika tidak terjadi perbedaan
diantara kedua kelas tersebut maka kedua kelas tersebut diberikan perlakuan yaitu
penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dan Learning Cycle 7E.
Setelah dilakukan perlakuan terhadap kedua kelas eksperimen tersebut maka
dilakukan adanya posttest untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan
kemampuan pemahaman konsep matematika setelah diberikan perlakuan. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut:
Gambar 1
Bagan Kerangka berpikir
Model Pembelajaran
Problem Based Learning
(PBL)
Model Pembelajaran
Learning Cycle 7E
Perbedaan Kemampuan Pemahaman Konsep
antara Model Pembelajaran Problem Based
Learning dan Learning Cycle 7E
Elicit
Engange
Elaborate
Explain
Explore
Extend
Evaluate
Orientasi Masalah
Mengorganisasi
Siswa untuk Belajar
Menganalisis dan
Mengevaluasi Proses
Pemecahan Masalah
Mengembangkan
Hasil Karya
Membimbing
Penyidikan
Kerja sama
Tanggung Jawab
Teliti
Disiplin
Percaya Diri
Tekun
32
2.5 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori, kajian penelitian yang relevan, dan kerangka
berpikir yang telah diuraikan diatas maka dirumuskan hipotesis awal sebagai
berikut: terdapat perbedaan pemahaman konsep matematika yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning dengan Learning
Cycle 7E pada kelas V SD Negeri Tlahab dan SD Negeri Bejen.